​Ibu Ini Pengen "Kuliah Sambil Jaga Anak" Tapi Ditentang KERAS oleh Suami! Akhirnya Mereka Sepakat untuk Mengambil "Solusi Ini"!

Jelita adalah seorang mama muda. Belum lulus kuliah sudah menikah. Suaminya 10 tahun lebih tua darinya. Setelah menikah, Jelita fokus menjadi ibu rumah tangga dan menjaga anaknya yang baru berusia 2 tahun.

Setiap kali reuni, Jelita pun iri dengan teman-temannya yang masih bebas dan memiliki karir sendiri. Jelita juga ingin kembali ke bangku kuliah menyelesaikan studinya dan punya karir sendiri, tapi begitu diutarakan, suami dan orangtuanya tidak mendukung karena alasannya anak masih terlalu kecil. Mereka berharap Jelita bisa fokus menjaga anak minimal sampai anak masuk sekolah dasar.

Sponsored Ad

Jelita pun merasa sangat frustasi. Ia bukannya tidak sayang sama anak, tapi ia juga ingin memantapkan diri dan memiliki kegiatannya sendiri selagi mengurus rumah tangga. Namun, tentangan dari keluarga begitu besar sehingga ia tidak bisa merealisasikan pemikirannya. Ia takut jika ia memaksakan kehendaknya maka akan terjadi konflik dengan keluarganya.

Seorang ibu rumah tangga ingin merealisasikan impiannya, tapi ditentang oleh keluarga. Bagaimana sebaiknya?

Sponsored Ad


Di masa lalu, wanita sering mengorbankan dirinya untuk memuaskan atau memenuhi keinginan anggota keluarganya. Tapi satu yang harus disadari bahwa kebutuhan psikologis SETIAP anggota keluarga perlu dihargai agar hubungan bisa berjalan baik untuk waktu yang lama. Jika ada satu saja anggota keluarga yang 'dirugikan', maka akan berdampak buruk untuk kedepannya.

Dewasa ini, norma di masyarakat masih membebankan "pekerjaan rumah tangga" dan "mengasuh anak" kepada wanita, sehingga tidak sedikit wanita yang 'terikat' dengan tanggung jawab tersebut, takut dibilang tidak bertanggung jawab, bukan ibu yang baik, jadi mudah merasa bersalah jika ingin melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.

Sponsored Ad

Memang menurut psikologi dan pendidikan, usia dini memang merupakan tahap kritis dalam perkembangan fisik, emosional, karakter anak, tapi di samping itu, kesehatan mental ibu juga sangat penting. Banyak psikolog yang sudah terus-menerus menekankan bahwa terlalu berlebihan dalam menjaga anak malah belum tentu baik bagi perkembangan anak itu sendiri.

Dalam kasus Jelita, jika bisa membagi waktu dan mengatur jadwal supaya dua-duanya terurus, sebenarnya mungkin saja bisa direalisasikan. Misalnya, ambil kuliah malam atau menitipkan anak pada orang yang bisa dipercaya, bisa juga tunggu anak besaran sedikit dan sudah bisa ditinggal sebentar. Sebenarnya ada banyak pilihan dan itu semua bisa diatur, yang penting adalah jangan bertindak impulsif, harus dipikirkan secara matang.

Sponsored Ad


Sebenarnya yang menjadi problem di sini adalah apakah keluarga bisa "saling menghormati dan menerima perbedaan antara satu sama lain." Disinilah komunikasi satu sama lain, empati dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan itikad baik diuji. Meskipun mama terkadang ingin berteriak, "jaga anak seharusnya tidak menjadi tanggung jawab satu orang saja", tapi tindakan impulsif dan emosional seperti inilah yang harus dihindari. Saling berkomunikasi dan berdiskusi adalah jalan keluarnya.

Sponsored Ad


Saling mengerti bukan berarti harus sepenuhnya setuju dengan pemikiran orang lain, tapi selain kita harus bisa mengekspresikan pikiran dan keinginan batin kita sendiri, kita juga harus bisa melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, belajar untuk memahami dan bertukar pikiran. Dengan mengendalikan emosi maka dapat mengurangi komunikasi negatif dan membangun jembatan untuk saling berkomunikasi.

Apa kamu juga mau berbagi pengalaman serupa?

Yuk KOMENTAR dan BAGIKAN cerita ini ke teman-teman kamu!

Sumber: toutiao

Kamu Mungkin Suka