Niat Tingkatkan Prestasi Anak dengan Banyak Les, Nggak Nyangka Malah "Hal Nyesek" Ini Terjadi!

Seorang ibu menceritakan tentang keadaan putrinya di sekolah. Awalnya sang ibu tidak puas dengan prestasi putrinya. Namun setelah "kejadian ini", pandangannya terhadap putrinya pun berubah 180 derajat.

(foto : ilustrasi)

Sponsored Ad

Putriku Lisa adalah anak yang biasa-biasa saja. Saat ini dia baru SMP kelas 2.  Di SMPnya, setiap kali ulangan, sang guru akan mengumumkan peringkat 1 kelas dari nilai yang tertinggi sampai yang terendah. 1 kelasnya total ada 50 orang. Dan setiap ulangan, entah kenapa putriku selalu berada di peringkat ke 23.

Karena selalu berada di peringkat ke 23, teman-temannya pun menjulukinya nama "23". Kami sebagai orang tuanya tentu saja tidak senang dengan julukan ini, namun Lisa malah menerimanya dengan senang hati. 

Sponsored Ad

Suamiku juga mengeluhkan soal peringkat Lisa ini. Saat acara makan bersama rekan kerja, rekan kerjanya selalu tak hentinya memuji anak mereka. Sedangkan suamiku, dia hanya bisa makan dengan berkecut hati. Anak orang lain begitu berprestasi, punya banyak keahlian dan hobi yang bikin bangga orang tuanya. Sedangkan anaknya?

Lisa tidak punya keahlian atau hobi khusus yang bisa dibanggakan. 

Suatu kali, saat makan-makan bersama keluarga besar, topik pembicaraan akhirnya menjurus ke anak-anak. Anak-anak pun mulai ditanyai cita-citanya. Ada yang mau jadi pianis, artis, politikus, dan bahkan ada ponakan yang baru 4 tahun yang bercita-cita ingin jadi presenter. Sedangkan si Lisa malah sibuk mengupas udang untuk adik-adik sepupunya yang lain.

Sponsored Ad

Akhirnya tinggal Lisa yang belum mengatakan apa cita-citanya. Dengan wajah serius, Lisa pun menjawab, "Setelah dewasa, keinginan pertamaku adalah ingin menjadi seorang guru TK. Aku ingin memimpin mereka menyanyi dan menari bersama, bermain bersama." Semuanya terkaget-kaget dan dengan basa-basi memuji cita-cita Lisa. 

Sponsored Ad

Lalu keinginan keduamu apa? Mereka mulai bertanya keinginan kedua Lisa.

Dengan bangganya, Lisa berkata, "Aku ingin menjadi seorang ibu. Aku ingin memakai celemek bergambar doraemon, memasak makan malam untuk keluargaku. Aku ingin membacakan buku bergambar untuk anakku, mengajaknya ke beranda untuk melihat bintang-bintang di langit."

Mendengar cita-citanya, semua orang terpana dan tidak bisa berkata apa-apa. Suamiku pun terlihat sangat malu dan mulai mengalihkan topik pembicaraan.

Sponsored Ad

Setelah kami pulang dari acara makan-makan itu, suamiku menghela nafas dan berkata, "Kamu benar-benar mau biarkan anak kita jadi guru TK? Kita benar-benar rela biarkan dia punya hidup yang biasa-biasa saja?"

Sebenarnya kami sudah pernah mencoba banyak cara untuk meningkatkan prestasinya. Kami sudah pernah memanggil guru privat, les-les lain, membelikannya buku latihan, dan sebagainya.

Lisa juga sangat pengertian. Dia berhenti membaca komik, keluar dari klubnya, bahkan hari Sabtu dan Minggu juga tidak tidur sampai siang lagi. Setiap hari sepulangnya dari sekolah, dia harus menuju ke tempat les ini dan tempat les itu.

Sponsored Ad

Rutinitas yang sibuk itu akhirnya membuat Lisa tumbang juga. Dia terkena demam tinggi dah harus di infus di RS. Saat dirawat, dia masih bersikeras menulis PRnya dan ujung-ujungnya malah terkena penyakit paru-paru.

Saat sudah sembuh, wajah Lisa sudah kurus tirus. Dan hasil UASnya juga sama saja, peringkat 23.

Sponsored Ad

Kami kemudian mencoba memberinya makanan bernutrisi, vitamin, hadiah untuk memotivasinya, dan cara-cara lain, namun wajahnya semakin hari malah semakin pucat.

Apalagi, setiap mau ulangan, Lisa akan mogok makan, insomnia, keringatan dingin, dan ujung-ujungnya dia malah jatuh sampai peringkat 33.

Akhirnya, aku dan suamiku menyerah. Kami mengembalikan kebebasannya beristirahat, membiarkannya menggambar, membaca komik dan melakukan apa yang dia sukai. Namun tetap saja prestasinya tetap tidak meningkat. 

Sponsored Ad

Suatu hari di hari Minggu, rekan kerja suami mengajak kami untuk berpiknik bersama. Semuanya membawa masakan sendiri, pasangan dan anak juga ikut dibawa. Setibanya di taman, kami pun mengobrol riang bersama. Anak-anak ada yang menyanyi, ada yang menari, dan ada juga yang memperlihatkan karyanya. Sedangkan Lisa hanya duduk di belakang sambil bertepuk tangan meriah.

Lisa tak hentinya menuju ke tempat makanan dan menjaganya. Kotak yang hampir terbuka dibetulkan lagi posisinya, botol minum yang longgar ditutupnya lagi dengan erat, kuah masakan yang keluar dilapnya dengan bersih. Saat piknik, tiba-tiba terjadi satu kejadian. 2 bocah laki-laki, satunya jago matematika, dan satunya lagi jago bahasa Inggris. Mereka sedang berebutan mencapit satu kue yang tersisa, dan tak ada satupun yang bersedia mengalah atau membaginya menjadi 2. Para orang tua berusaha untuk melerai mereka namun tak berhasil. Akhirnya malah Lisa yang berhasil mengatasi masalah ini dengan sebuah koin. 2 Anak itu disuruh memilih angka atau gambar.

Sponsored Ad

Dalam perjalanan pulang, karena macet, anak-anak mulai tidak tahan dan mengeluh. Lisa lalu berdiri dan menceritakan lelucon yang membuat seisi bus tertawa. Dia membawa sebuah kotak berisi kertas warna-warni lalu mengguntingnya menjadi beberapa bentuk binatang. Anak-anak pun melihatnya dan memujinya tiada henti. Saat turun dari bus, setiap orang pun mendapatkan gambar hasil karyanya. Anak-anak tak hentinya berterima kasih kepadanya, dan diam-diam kulihat suamiku tersenyum bangga. 

Suatu kali saat Lisa sudah menyelesaikan semesternya, aku tiba-tiba mendapat telepon dari walikelasnya. Yang diberitahukannya adalah, nilai putriku masih sama saja, berada di tengah. Namun apa yang dikatakannya kemudian membuatku terpana.

"Ada satu hal aneh yang ingin kuberitahukan. Selama 30 tahun mengajar, ini pertama kalinya saya alami di kelas ini. Di ulangan bahasa, saya berikan 1 pertanyaan untuk menambah nilai, pertanyaan itu adalah  "Siapa yang paling kamu kagumi di kelas ini, dan mengapa alasannya". Selain Lisa, 49 murid lainnya telah menulis nama anak Anda. Alasannya banyak, ada yang menulis Lisa itu suka membantu, bertanggung jawab, sangat bisa diandalkan, tidak mudah marah, dan supel. Alasan yang paling banyak ditulis anak-anak adalah "Lisa anak yang ceria".

"Banyak yang murid yang juga mengusulkan agar Lisa dijadikan sebagai ketua kelas."

"Putri Anda walaupun nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun dalam nilai kehidupan, dia sangat berprestasi!"

Setelah mendapat telepon pujian dari walikelasnya, aku langsung tersenyum kepada Lisa dan berkata, "Kamu begitu disukai orang-orang, mau jadi Hero yah?!"

Lisa yang sedang merajut syal dengan serius menjawab, "Guruku dulu pernah mengajarkan kalau "Kita semua tidak bisa menjadi pahlawan, karena ada orang yang harus duduk di pinggir bertepuk tangan" (Kata bijak dari Will Roger)."

"Ma, aku tidak ingin menjadi pahlawan. Aku hanya ingin jadi orang yang duduk di pinggir bertepuk tangan untuk mereka."

Aku terkejut mendengar perkataan Lisa itu. Perkataannya kedengarannya sederhana, namun penuh dengan arti.

Di dunia ini begitu banyak orang yang haus dan ingin menjadi nomor 1, ingin jadi yang terhebat, namun akhirnya malah jadi orang biasa. Asalkan bisa hidup bahagia, sehat dan tidak berbuat jahat, kenapa tidak boleh menjadi orang biasa?

Setelah tumbuh dewasa, aku yakin kalau Lisa pasti bisa menjadi seorang istri yang lembut, bijak, bisa menjadi rekan kerja yang suka membantu, dan bisa menjadi tetangga yang baik hati.

Kenapa kita sebagai orang tua masih harus tidak puas dengan prestasinya yang baru di peringkat 23? Bagaimana dengan para orang tua yang anaknya berada di peringkat lebih rendah dari itu? Asalkan seumur hidupnya ini, dia bisa hidup seperti apa yang diinginkannya, dia tidak menjadi orang jahat, bisa berguna untuk masyarakat, itu sudah cukup. 

Sumber: injury

Kamu Mungkin Suka