Dinikahkan dengan Kakakku Sendiri, Tak Disangka "Nasib Aku" Berakhir "Begini"!

Siapapun tidak pernah menyangka, kakak yang sejak kecil tumbuh bersama denganku kini menjadi suamiku...

(Foto: ilustrasi)

Sejak kecil kakak sudah sangat rajin dan pengertian. Ayah ibu pergi bekerja, dan kami berdua disuruh memasak dan membersihkan rumah, serta menjaga adik yang masih kecil. Waktu itu aku selalu memilih pekerjaan yang lebih ringan, aku yang malas memilih menjaga adik dan menemaninya bermain. Sedangkan kakak, ia pun mengerjakan sisanya, memasak dan membersihkan rumah. Kakak yang baik hati tak pernah mengomeliku. Semua pekerjaan rumah diselesaikannya sendirian.

(Foto: ilustrasi)

Padahal, alat masak yang dipakai rumah kami adalah panci yang sangat berat dan tungku api. Tungku itu harus dinyalakan dengan membakar kayu dan ditiup sampai menyala. Wajah kakak sampai cemong-cemong saat menyalakannya. Sambil masak, kakak akan menyapu pekarangan rumah yang luasnya minta ampun. Tak seperti kota, rumah-rumah di kampung memang dibangun dengan pekarangan rumah yang luas. Setelah mengerjakan pekerjaan rumah, kakak selalu terlihat kotor dan keringatan.

(Foto: ilustrasi)

Ayah ibu yang tahu hal ini selalu mengasihani kakak dan menegurku karena tidak membantu. Tapi kakak hanya berkata, "Nggak apa-apa, biarkan adik bermain saja."

Sorenya, kakak akan mencabut rumput untuk memberi makan sapi. Sedangkan aku tetap memilih bermain bersama adik. Sejak kecil kakak memang sudah sangat memanjakanku. Setelah masuk SMP, aku yang suka jajan selalu menghabiskan uang saku dengan cepat. Karenanya, kakakku akan menyisihkan uang sakunya untuk diberikan kepadaku.

(Foto: ilustrasi)

Suatu kali, karena mendengar pertengkaran ayah ibu, aku akhirnya mengetahui kenyataan bahwa kami bukanlah saudara kandung. Ayah dan ibu kami menikah bukan karena cinta. Mereka menikah demi anak-anak mereka, namun mereka tidak tahu bagaimana mengelola rumah tangga yang harmonis. Mereka berdua sering bertengkar, karena itu kakakku sejak kecil sudah sangat pengertian dan merasa bertanggung jawab menjaga kami adik-adiknya.

(Foto: ilustrasi)

Setelah lulus SMP, kami semua memilih untuk bekerja. Kakak merantau ke ibu kota untuk bekerja dan akan pulang setiap tahun sekali. Sedangkan aku bekerja di kota dekat kampungku, dalam sebulan bisa pulang 2-3 kali menjenguk orang tuaku. 

Di kampungku ada seorang mak comblang yang sangat terkenal. Setiap ada anak gadis yang cukup umur, ia pasti akan datangi rumahnya dan mencomblangkannya dengan pria lain. Aku juga termasuk. Suatu kali saat tahun baru, kakakku pulang untuk merayakannya bersama. Ibuku pun mulai menceritakan kepada kakak, "Lihat adikmu, baru lulus SMP sudah mau dicomblangin sama mak comblang."

\

(Foto: ilustrasi)

Mendengar perkataan ibu, kakak langsung berkata, "Bu, kalau mak comblang datang lagi, jangan biarkan dia masuk lagi!"

Ibu pun tersenyum geli bertanya, "Kenapa?"

Dengan tegas kakak menjawab, "Adik nggak boleh menikah!"

Waktu itu aku hanya berpikir polos bahwa kakak mungkin bermaksud untuk melindungiku, merasa aku masih belum cukup umur.

(Foto: ilustrasi)

Tak disangka, saat aku berusia 20 tahun, nenekku malah memintaku menikah dengan kakak. "Lihat kakakmu itu begitu rajin dan memanjakanmu! Dia juga jago masak...Di zaman begini, bisa temukan pria yang menyayangimu adalah hal yang patut disyukuri. Ibumu itu juga sifatnya meledak-ledak. Nenek khawatir, kalau kakakmu menikahi perempuan lain, akan ada masalah antara mertua dan menantu. Karena itu, lebih baik kamu yang menikah dengan dia! Keluarga kalian sama, ayah ibu kalian juga sama."

(Foto: ilustrasi)


Awalnya aku menolak dengan keras. Bukan karena kakak tidak baik, namun di hatiku selalu ada dilema yang tak bisa diluruskan. Bagaimana mungkin, setelah bertahun-tahun memanggilnya "kakak", tiba-tiba sebutan itu harus diubah menjadi "suami". Setelah dipikir-pikir, aku akhirnya menyetujui permintaian nenek. Alasannya sederhana, semua ini demi keharmonisan keluarga kami.

(Foto: ilustrasi)

Setelah menyetujui pernikahan itu, aku dan kakak pun bersama-sama bekerja di ibu kota. Dalam hatiku masih ada dilema yang membayangiku. Aku takut pernikahanku akan seperti pernikahan ayah ibu yang penuh dengan pertengkaran. Tanpa diberitahu, kakak mengerti perasaanku. Ia berjanji bahwa tidak akan membuatku bersedih.


(Foto: ilustrasi)

Di usiaku yang ke 23 tahun, kami pun menikah. Saat itu kondisi keuangan kami masih belum begitu bagus. Di dalam budaya kami, saat menikah, pengantin pria harus memberikan 3 emas ( cincin emas, anting emas, kalung emas). Demi berhemat, kami pun menggunakan sedikit tabungan untuk membeli 2 emas saja, yaitu cincin dan anting emas. Asalkan bisa mengurangi beban dan tidak merepotkan ayah ibu, tidak ada lagi yang perlu dipusingkan kami. Kami sudah puas bisa menikah dengan sederhana.

Temanku pernah bertanya, setelah kami bersama, apa kami pernah melewati valentine atau saling bertukar hadiah. Semua hal tetek bengek yang sering dilakukan pasangan lain tidak pernah kami lakukan. Walaupun begitu, kami hidup bahagia. Bagiku,bahagia itu sederhana. Asalkan sudah bersama dengan Mr. Right, pasangan yang mencintai kita sepenuh hati, maka setiap hari pun terasa seperti Valentine. 

Sumber: urreply 

Kamu Mungkin Suka