Sadar Akan Tingkat Kemiskinan yang Tinggi, Siapa Sangka Wanita Ini Melakukan Sebuah Hal Mulia Sebagai Pemutus Rantai Kemiskinan

Meski tak ada rumus pasti, namun pendidikan dinilai bisa memutus rantai kemiskinan. Setidaknya, hal itulah yang diyakini Susi Sukaesih saat mendirikan lembaga pendidikan untuk anak-anak yang putus sekolah. Menurutnya, sekolah bisa kembali merajut mimpi dan masa depan mereka yang sempat putus pendidikan. Susi adalah pendiri Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Ginus Itaco di Bekasi, Jawa Barat. Awalnya sekolahnya itu merupakan SMK Itaco yang menginduk pada SMK lain.

Sponsored Ad

Itaco merupakan kepanjangan dari Imperial Technology Automotive and Accounting College. Ada tiga jurusan utama di sana, yakni teknologi terapan, otomotif, dan akuntansi. Alasan Susi mendirikan sekolah tersebut karena pengalamannya sendiri. Pernah suatu ketika anak didiknya di SMK Iptek Jakarta, putus sekolah. Susi mengaku terkejut menerima kenyataan itu. Yang membuatnya tersentak, anak didiknya keluar karena diminta orangtuanya untuk bekerja demi membantu keluarga. Ia pun sadar banyak yang mengalami seperti anak didiknya itu. 

Sponsored Ad


Sejak saat itu, ia mulai membulatkan tekad. Susi lantas memutuskan mengundurkan diri sebagai pengajar di SMK Iptek. Ia mencoba merintis sekolah sendiri untuk menampung anak-anak dari keluarga miskin. Saat itulah lahir SMK Itaco. Namun semua tak semudah yang dibayangkan. Untuk merintis sekolah tersebut, Susi meminjam uang dari beberapa kolega agar dapat membeli perlengkapan sekolah seperti meja kursi dan tiga unit komputer.

Susi lalu berkeliling ke kampung-kampung dan permukiman kumuh untuk mencari anak-anak putus sekolah. 

Sponsored Ad


Karena merintis sekolah setara SMK, anak-anak yang dikumpulkan Susi adalah mereka yang putus sekolah pada tingkat SMA atau sederajat. Susi menyeleksi mereka dengan melihat latar belakang ekonomi keluarga dan keinginan kuat untuk kembali melanjutkan pendidikan. Perlahan sejumlah siswa ia dapatkan. Mereka adalah anak-anak yang orantuanya buruh bangunan, pembantu rumah tangga, pedagang asongan, tukang ojek, dan yatim piatu. Tak terasa, sudah 25 anak putus sekolah yang berhasil ia kumpulkan. Semuanya di Kota Bekasi.

Sponsored Ad

Jebolan Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini kemudian bergerilya mencari orang tua asuh yang mau membiayai anak-anak itu kembali bersekolah. Susi mengajukan proposal disertai profil masing-masing anak yang memang berasal dari keluarga miskin. “Awalnya, kami mencari orang tua asuh yang berasal dari kalangan teman dekat sendiri. Mereka mau memberikan sebagian penghasilan untuk membantu siswa kembali sekolah,” kata Susi mengisahkan perjuangannya. 

Sponsored Ad


Susi lalu mengganti nama SMK Itaco menjadi PKBM Ginus Itaco yang berbasis sekolah nonformal pada 2016. Anak putus sekolah yang diterima pun lebih beragam mulai dari siswa setara SMP hingga SMA yang nantinya diarahkan untuk mengikuti ujian kejar paket B dan kejar paket C. Saat semua terasa sudah berjalan sesuai rencana, praktiknya tidak demikian. Siswa-siswanya kerap tidak datang sekolah. Kata Susi, mereka tak punya ongkos. Jadi meski mereka tak bayar uang sekolah, namun tetap saja untuk kesehariannya mereka tak dapat uang. Walhasil banyak yang kemudian kembali ke jalan.

Sponsored Ad

Pantang Menyerah

Tak mau menyerah, wanita kelahiran Kuningan, 22 Juli 1985 ini kembali memutar otak agar anak-anak tersebut kembali bersemangat untuk ke sekolah. Dia kemudian menggagas komunitas siswa wirausaha pada 2013. Program itu berupaya membekali keterampilan kepada para siswa agar mampu menghasilkan produk yang bisa dijual. Sebagian hasil penjualan produk akan diberikan kepada siswa agar mereka memiliki ongkos dan uang saku ke sekolah.


Sponsored Ad

Awalnya Susi Sukaesih dan siswanya memulai usaha percetakan dan sablon. Tapi tidak berjalan mulus. Mereka lalu berganti berjualan rujak es krim, keripik kentang, hingga akhirnya merambah ke usaha konveksi pada pertengahan 2015. Usaha konveksi ini dilakoni setelah para siswa mendapat pelatihan di bidang konveksi dari Indonesia Business Link, sebuah organisasi nirlaba, termasuk pelatihan menjahit. SMK ini kemudian mendapat sejumlah bantuan peralatan mesin jahit dari berbagai lembaga dan donatur.

Sponsored Ad

Susi Sukaesih Membuka Jalan Mimpi Lewat Konveksi

Menurut Susi, jenis usaha konveksi memiliki kelebihan dibandingkan usaha makanan karena produk yang dihasilkan tidak kadaluarsa. Selain itu memiliki turunan produk yang beragam. Setelah mengikuti berbagai pelatihan dan mengumpulkan peralatan produksi, siswa  mulai menghasilkan produk sendiri pada 2017. Ternyata, selama tahun 2017, para siswa mampu  menghasilkan dan menjual sekitar 1.500 buah produk yang kebanyakan tas dan cendera mata. Omzet mereka rata-rata per bulan mencapai Rp13 juta. 

Sponsored Ad


Pelanggan mereka kebanyakan adalah lembaga kementerian atau perusahaan. Satu tas dijual dengan kisaran harga Rp100.000 hingga Rp285.000, tergantung bahan dan model. Produk mereka dapat dilihat di akun instagram @siswawirausaha dan facebook siswawirausaha1 dan situs siswawirausaha.com. Produk yang dihasilkan saat ini berupa tas, hijab, hingga busana perempuan.


Lewat pembelian produk tersebut, konsumen turut membantu biaya pendidikan anak-anak putus sekolah di PKBM Ginus Itaco. Kendati demikian, Susi memastikan produk yang dijual oleh anak-anak didiknya tetap mengedepankan kualitas. Dari usaha yang dirintis bersama anak-anak PKBM Ginus Itaco tersebut, Susi Sukaesih dinobatkan sebagai pemenang Best Women Microentrepreneur Citi Microentrepreneurship Awards 2017-2018. Sebelumnya, PKBM Ginus Itaco juga menyabet Juara 2 Lomba Wirausaha dari Guruku Education Festival.


Sumber : Fakta News


Kamu Mungkin Suka