Selama 2 Tahun Ia Tinggal di Warnet Bersama Ibu dan Adik. Alasan Dibaliknya Bikin Mewek!

Bila mendengar kata "Jepang", apa yang terlintas di benakmu? 

Makmur, kaya, maju, modern, hi-tech, dan lain sebagainya, hampir semua yang diimpikan orang Indonesia sudah ada di Jepang. Siapapun tidak menyangka, tingkat kemiskinan Jepang masih sangat tinggi dan bahkan berbeda 180 derajat dengan tingkat kekayaan masyarakatnya. 

Sponsored Ad

Beberapa waktu yang lalu, NHK, channel TV Jepang membuat video dokumenter berjudul《女性貧困:新興連鎖的衝擊》 (Tingginya Kemiskinan Wanita Jepang) yang menyibak realita pahit kehidupan 3 juta lebih wanita di Jepang...

Sponsored Ad

Jepang yang dikenal sebagai negara makmur dan perekonomian maju, ternyata ada 3 juta lebih wanita yang setiap hari harus bekerja membanting tulang tanpa ada perlindungan sosial. Mereka tinggal di bawah jembatan, taman, warnet atau restoran 24 jam. Rata-rata usia mereka antara 15-34 tahun.

Wanita-wanita yang masih muda ini tidak ada pekerjaan tetap. Demi sesuap nasi mereka hanya bisa bekerja serampangan. Walaupun sudah bekerja keras, namun penghasilan mereka tetap tidak cukup untuk membayar uang sewa rumah. Alhasil, mereka hanya bisa tinggal di ruangan kubus dalam warnet dengan luas tidak lebih dari 2 x 2 meter. Biaya sewa warnet perhari adalah 2400 yen, sekitar 300 ribu rupiah. Harga ini tergolong murah bila dibandingkan dengan harga kamar di hotel ataupun di apartemen.

Sponsored Ad

Karena itulah, penghuni warnet Jepang dari hari ke hari semakin meningkat jumlahnya. Dari jumlah penghuni warnet, 70 % diantaranya ternyata adalah wanita. Yang paling parah, bahkan ada yang tinggal bertiga!

Sponsored Ad

Tim NHK kemudian mewawancarai Ayaka, seorang wanita 19 tahun yang tinggal bersama adik dan ibunya. 1 keluarga ini merupakan penghuni warnet terlama. Adik Ayaka baru berumur 14 tahun, dan ibu Ayaka 41 tahun. Mereka sudah menetap di warnet selama 2 tahun. Demi melangsungkan hidup, Ayaka yang belum tamat SMA berhenti sekolah  dan bekerja di minimarket. Adik perempuannya yang harusnya SMP kelas 3 juga sudah setengah tahun tidak sekolah.

Penghasilan Ayaka per bulan sekitar 100.000 yen (12 juta rupiah). Penghasilan Ayaka ditambah dengan beberapa puluh ribu yen dari ibunya, hanya cukup untuk menghidupi kedua kakak beradik itu secara pas-pasan.

Sponsored Ad

Ayaka dan adiknya hanya makan sekali sehari. Itupun hanyalah sepotong roti yang dibagi dua. Saat ditanya oleh wartawan, "Apa yang kalian paling ingin makan sekarang?"
Jawaban mereka sungguh menyayat hati netizen.
"Pengen makan shabu-shabu. Dulu kami sekeluarga paling sering makan shabu-shabu. Ibu lah yang memasakkannya. Namun itu sudah lama sekali, waktu kami masih kecil."

Sponsored Ad

Gadis 19 tahun lain, Chizu, setiap hari jam 5 pagi sudah harus bekerja di minimarket. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih kecil. Demi menghidupi keluarganya, Chizu melepas impiannya untuk bersekolah, begitu lulus SMP dia mulai bekerja part time. 

Agar bayarannya bisa lebih banyak, Chizu rela bekerja di pagi hari dan tengah malam (bayaran di jam pagi dan tengah malam lebih banyak daripada jam kerja biasa).

Sponsored Ad

Saat ditanya apa rencananya di masa depan, Chizu mengatakan bahwa dia tidak mungkin terus bekerja di minimarket. Dia ingin sekolah malam di bidang "pendidikan anak" dan ingin menjadi perawat anak, namun apa daya, uang sekolah yang mahal membuatnya hanya bisa bergantung pada kredit pendidikan dari bank.

Sponsored Ad

Nasib yang sama terjadi pada Murakami yang sudah lulus sarjana. Sudah lulus S1 selama 2 tahun, namun dia tak kunjung menemukan pekerjaan tetap. Murakami ingin bekerja di bidang travel dan juga pernah mengemban studi di luar negeri, namun dia kini hanya bisa bergantung pada pekerjaan part time dan free lance untuk melangsungkan hidup. Penghasilannya kini sebenarnya sama saja dengan penghasilannya saat kuliah sambil part time.

"Dulu waktu kuliah, saya selalu bermimpi bisa mendapatkan pekerjaan tetap, bekerja dengan keras dan mendapatkan bonus, dan jabatan terus naik. Saya bahkan sudah berencana untuk membayar kredit pendidikan dengan gaji dan bonus saya.."
Namun mimpinya itu harus buyar karena realita kehidupan. Kini untuk makan saja dia serba berkekurangan.

Sponsored Ad

Berdasarkan ulasan dari video ini, penyebab utama kemiskinan wanita-wanita muda ini adalah sejak kecil sudah kehilangan ayah, atau perceraian ayah dan ibu.

Harga barang dan tanah yang tinggi membuat mereka melepas pendidikan dan harus bekerja demi melangsungkan hidup. Walaupun ada subsidi dari pemerintah, namun jumlah subsidi akan didasarkan pada pekerjaan dan penghasilan mereka. Semakin banyak pekerjaan yang mereka kerjai, maka semakin rendah subsidi yang diberikan pemerintah.

Ada banyak wanita yang mencoba mengikuti berbagai ujian sertifikasi, dan untuk ikut bimbingan les, mereka harus bekerja mati-matian. 

Sekali pendapatan mereka naik, subsidi pun akan menurun. Semakin mereka bekerja keras, hidup mereka malah semakin sulit.


Sebagai negera dengan perekonomian maju ketiga di dunia, ketimpangan sosial antara orang kaya dan orang miskin di Jepang sangatlah besar. Berdasarkan data dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), perbedaan pendapatan dari "yang tertinggi" sampai "yang terendah" mencapai 10,7 kali lipat. Jumlah masyarakat miskin mencapai 15,7% dan bertumbuh 1,3% setiap tahun. Hal ini berarti, ada 19 juta penduduk Jepang hidup di bawah garis kemiskinan, atau satu dari enam penduduk Jepang adalah orang miskin.

Wanita-wanita muda di Jepang semakin lama semakin miskin, faktor utamanya adalah karena 55,8% wanita bekerja secara part time. Mereka tidak menemukan pekerjaan full-time sehingga tidak ada jaminan secara sosial. Mereka hanya bisa bekerja secara tidak tetap, mendapat tekanan dari karyawan tetap, atau bahkan diperlakukan secara tidak adil.

Dari data survey yang dilakukan, rata-rata wanita single parent berusia 35,6 tahun. 54,7% diantaranya putus sekolah karena tidak sanggup membayar biaya pendidikan. 82,3% wanita single parent jatuh miskin karena suami meninggal dan harus menghidupi anak.

Tingkat kemiskinan pun terus naik dan tidak bisa diberhentikan karena masalah sosial ini.

Selain itu, karena konsep konservatif yang dibenamkan ke wanita Jepang, mereka sejak kecil sudah diperlakukan tidak adil dan sudah biasa merendahkan diri. Yang dikejar mereka bukanlah kesuksesan dalam berkarir, namun malah pernikahan dengan suami yang mapan. Para lelaki merasa kedudukannya lebih tinggi dan menyebabkan banyak wanita sering dilecehkan atau dibuang. Karena itulah, wanita single parent semakin banyak dan mereka juga tidak bisa menemukan pekerjaan tetap, anak pun terpaksa putus sekolah dan ikut bekerja.

Konsep "wanita harus dirumah, lelaki harus bekerja" masih cukup dalam di pemikiran masyarakat Jepang. Para wanita Jepang akhirnya harus tenggelam dalam kemiskinan karena merasa dirinya rendah dan sulit untuk bangkit. Bila konsep itu tidak ditanamkan sejak kecil, mungkin tingkat kemiskinan itu bisa diatasi dengan lebih efektif.


(Video aslinya bisa dilihat di sini)

Bukan hanya di Jepang, kemiskinan memang masalah yang muncul di setiap negara. Untuk memeranginya, perlu langkah-langkah efektif dari pemerintah dan juga dukungan dari rakyat. Bila hanya dilakukan dari atas saja (pemerintah), dan tidak dilakukan dari diri masyarakat sendiri, sama saja hasilnya akan nihil. Untuk memberantas kemiskinan, harus ada kesadaran dari diri sendiri. Masyarakat miskin harus belajar untuk mandiri dan ada kemauan untuk berubah menjadi lebih baik. Masyarakat yang berkecukupan juga harus turut membantu, misalnya dalam bersedekah, atau mengikuti kegiatan-kegiatan sukarelawan, atau membangun lapangan pekerjaan. 

Sumber: story543


Kamu Mungkin Suka